DIORAMA DARI BALIK JENDELA

Illustration by: Astari Puteri
Temanku yang satu ini sangat periang.
Mendengarkan ceritanya akan membuat kita bertanya-tanya sudah berapa ribu tahun ia hidup. Seperti segala hal tak pernah luput darinya. Tapi aku bersyukur, karena darinya aku mengenal dunia.

Pagi ini cerita dibuka tentang burung-burung kecil yang gemar bertengger di kawat listrik untuk menghangatkan badan. Burung-burung tak pernah tahu ada sepasang mata yang mencemaskan keselamatannya dia atas sana. Dan sepasang mata itu juga tak akan tahu betapa indahnya dunia jika tak ada temannya.

Cerita berlanjut tentang pengemis tua berkaca mata hitam dan bertongkat yang berdiri di sekitar lampu lalu lintas. Saat lampu hijau menyala seolah ia mendadak mempunyai insting kuat untuk menghindar dari kendaraan-kendaraan yang tergesa. Salah satu drama di lampu merah yang ia tunjukkan padaku. Membuatnya kesal mengapa orang terlatih untuk berpura-pura. Apakah belas kasihan orang sudah terlalu langka sehingga hanya bisa didapat melalui sandiwara?

Sekarang giliran ia berkelakar. Tentang balada tukang ojek yang mencari penumpang. Setiap kali melihat orang berjalan kaki, ia akan mengacungkan tangan layaknya anak SD yang sedang diabsen guru setiap pagi. Jika beruntung akan bersambut dengan anggukan kepala calon penumpang. Tapi jika tidak, ia harus mengulum senyum mendapati rayuannya kurang ampuh. Bahkan ada yang terlihat menggerutu karena merasa diabaikan. Siapa yang salah disini, mereka tukang ojek mungkin tak pernah tahu rasanya jadi pejalan kaki yang mendadak jadi terkenal saat melewati pangkalan ojek. Dipanggil sana-sini padahal sudah jelas mereka pejalan kaki menggelengkan kepala. Tapi demikianlah hidup, terlalu banyak aturan tak tertulis yang harus kita patuhi demi mendapat gelar normal. Sehingga menjadi pejalan kaki juga tak boleh bosan dengan rentetan basa-basi penolakan kepada barisan tukang ojek yang setiap hari menawarkan tawaran yang sama dengan jawaban yang sama pula.

Kau sudah lihat kan? Dia selalu begitu kalau sedang bercerita, tak bisa dipotong kecuali dengan asap panas kopi hitamku. Akupun tetap seperti ini, membawa cangkir merah hadiah dari ibu. Tahukah kau, asap kopi yang mengepul ini kadang membuatnya protes lalu melakukan aksi tutup mulut. Tapi aku sudah paham itu tak akan berlangsung lama. Saat kopiku mulai dingin, ia akan kembali bercerita tentang hal baru yang selalu berhasil ia tangkap setiap saat, dan mempersilakanku menjadi saksi.

Dia adalah tempatku mengintip dunia dengan jujur. Aku paham jika seseorang akan lepas menjadi dirinya sendiri saat tak ada yang mengawasi. Mereka tidak tahu dari lantai lima bangunan ini, ada sepasang mata yang selalu awas menangkap setiap kejadian. Sepasang mata yang berkolaborasi dengan temannya yang periang dan tahu segala hal. Sepasang mata yang tubuhnya tak mampu lagi membuat cerita diluar sana. Sepasang mata yang hanya bisa mengintip diorama kehidupan yang bergerak bisu. Dari tempat yang sama, sudut yang sama, sejak dua orang yang kupanggil ayah dan ibu mengurungku disini untuk alasan entah apa. Kepada teman setiaku jendela kayu yang kusennya nyaris lapuk, jangan bosan bercerita padaku, jangan bosan jadi temanku.

                                #NulisRandom2015 #Day4

Komentar