Sepasang Kaus Kaki dan Sebuah Jagung Bakar


Pikir mereka, manusia berjalan hanya dengan kaki telanjang. Tak ada sandal, sepatu, apalagi sebelum memakai itu kaki terlebih dahulu harus dibungkus kaus kaki. Kaki-kaki mereka seolah telah dipasangi magnet bermedan kuat. Sejauh apapun mereka berjalan, seterjal apapun jalanan, tak akan membuat mereka takut terluka. Bukan berarti mereka tak pernah terluka. Mereka hanya tidak memprioritaskan luka sebagai problematika hidup nomor satu.
 
      Wemiles tak pernah tahu tanggal berapa ia dilahirkan. Di distriknya, waktu tak pernah menjadi primadona yang banyak dipuja namun cepat berlalu. Umurnya kira-kira sembilan tahun. Ia belum tahu perbedaan hari ini, kemarin, dan besok, apalagi lusa. Pagi, siang, dan malampun hanya berakhir menjadi repertoar pergantian hari yang bahkan Ia tak hafal nama-namanya. Kabar baiknya Wemiles tahu betul Ia tinggal di Indonesia. Saat melihat peta yang dipasang di perpustakaan sekolah, jari-jari tangannya dengan  gesit menunjuk Pulau Papua, tempat Ia dilahirkan higga sekarang. Meskipun Ia belum fasih berbahasa Indonesia.


Dok. pribadi; Wemiles Yikwa, kira-kira berumur 9 tahun.
               
          Sekolah Wemiles baru aktif setahun belakangan. Setelah seorang relawan asal Jawa Tengah bersedia mengabdi menjadi pengajar di sana. Bukan suatu hal yang mudah mengingat sekolah di sana telah tidak aktif selama empat tahun. Butuh dedikasi yang amat tinggi dan kerelaan meninggalkan segala kemeriahan kota jika kau benar-benar mau mengabdi. Bagaimana tidak, di sana tak ada listrik, air bersih, apalagi jaringan internet. Bisa dibayangkan apa yang bisa kau lakukan tanpa ketiga hal itu?

Dok. pribadi; Bung Guru Rosa, 28 tahun sedang melakukan apel pagi.

Satu-satunya hiburan di sana adalah interaksi dengan orang lain. Baik melalui permainan olahraga, maupun sekedar berbincang antarwarga. Itulah mengapa toleransi menjadi nilai utama yang sudah mendarah daging tanpa harus dipelajari. 

Pada suatu pagi Wemiles dan teman-temannya sedang berjalan kaki menuju kali untuk mandi dan gosok  gigi. Mandi merupakan rutinitas seminggu sekali yang sangat dinanti oleh Wemiles dan anak-anaknya. Pagi itu ada yang berbeda dengan penampilan Wemiles. Kakinya tak lagi telanjang. Sepasang kaus kaki hitam yang panjangnya sampai di atas lutut ia pakai di sepasang kaki mungilnya. Entah darimana Ia mendapatkan kaus kaki hitam panjang itu. Darimanapun kaus kaki itu, ia terlihat lebih ceria dan bangga memakainya.

Selepas mandi di kali, kembali ada yang berbeda dari penampilan Wemiles. Kaus kakinya tinggal satu buah. Kaki kanannya kembali telanjang tanpa alas. Waktu ditanya kemana perginya kaus kaki sebelah kanan, ia menjawab “Sa kasih ke Kiton. Dia punya kaki kanan sedang terluka.” Hatiku langsung menghangat mendengar jawaban polosnya. Tak jauh dari tempat kami berada, kulihat Kiton memakai kaus kaki sebelah kanan sambil berjalan sedikit terpincang. Sungguh mulia hatimu Wemiles.

Dok. pribadi; Wemiles dan Kiton dengan kaus kaki hitamnya.
Pada hari yang lain, sedang ada pembagian hasil bumi oleh pak kepala desa. Anak-anak kecil dengan semangat berebut jagung yang baru saja dipanen. Tak terkecuali dengan Wemiles. Sennyum manisnya merekah ketika ia berhasil mendapatkan sebuah jagung di tangan.

“Hei Wemiles, bagi kah..” rayuku dengan niat bercanda.
“Ini buat Bung Guru saja.” jawabnya masih dengan  senyum merekah.
“Eh.. Jangaan.. Buat kau saja, lagi pula di dapur sedang tidak ada api untuk membakarnya.” Aku
tak siap mendengar jawabannya.
“Bung Guru tunggu sini ya, jangan kemana-kemana.”

Setelah mengatakan itu Ia langsung berlari menuruni bukit di depan perpustakaan. Selang sepuluh menit Ia kembali membawa sebuah jagung yang sudah dibakar, membaginya menjadi dua, lalu menyerahkan sebagian padaku.
“Ini buat Bung Guru. Sudah Sa kasih api hee..” kali ini dengan senyum paling manis yang selalu ia
punya.
“Aaah… Wemiles, tak usah, buat kau sajalah.” hatiku menghangat, lagi.
Bukan malah mengambil potongan jagung itu lalu memakannya, Ia malah menyisir jagung itu dengan jari-jari kecilnya. Dan menyerahkan potongan-potongan jagung itu padaku lagi.
“Terima kasih Wemiles Yikwa…” ungkapku dengan hati yang kembali menghangat.

Dok. pribadi; Potongan jagung dari Wemiles

         Wemiles adalah salah satu dari puluhan anak lain di sana yang juga mempunyai kegemaran yang sama, berbagi. Lapar satu lapar semua, makan satu makan semua. Bahkan ketika anak-anak itu mendapat biskuit, mereka tidak akan langsung memakannya. Tidak, sampai semua temannya mendapat biskuit yang sama. Jika ada yang tak kebagian,  tentu yang lain akan dengan senang hati berbagi. Mereka juga tak pernah membiarkanku, sebagai pendatang yang hanya empat hari di sana, merasa kesusahan. Ambil air di kali, menyalakan api dari kayu bakar, membawakan peralatan syuting yang berat, semuanya, membantu seolah menjadi perlombaan berhadiah yang dengan senang hati mereka lakukan. Apalagi kalau mereka sudah bilang “Biar sa saja Bung Guru..” hatiku meleleh, lagi, dan lagi.
   
         Wemiles, dan anak-anak Papua merupakan potret anak Indonesia yang memiliki keluhuran budi luar biasa, semangat yang tinggi dalam menimba ilmu, namun tak mempunyai kesempatan yang sama dengan anak-anak Indonesia lainnya. Saat kita berpikir untuk belajar di sekolah yang mana, di tempat Wemiles sana ada guru yang betah mengajar saja sudah untung. Saat kita tinggal memilih aneka macam hiburan dan permainan, Wemiles dan kawan-kawannya hanya tahu permainan tikus dan kucing. Saat kita melihat dunia melalui televisi dan internet, Wemiles dan kawan-kawannya hanya tahu dari buku-buku. Dan di luar sana masih banyak Wemiles-Wemiles lain yang membutuhkan kesempatan yang sama.

Apa yang bisa kita lakukan?

Menilik sejarah cikal bakal Sumpah Pemuda di masa lampau, wabah yang menyerang bangsa Indonesia saat itu adalah kurangnya kesadaran untuk mengenali negerinya sendiri. Belanda berhasil memecah bangsa ini menjadi kelompok-kelompok kecil yang tak punya daya. Hingga segelintir pemuda yang mendapatkan pendidikan layak dari Belanda terbuka pikirannya untuk berkumpul. Menyatukan kekuatan, kesamaan visi, perasaan senasib sepenanggungan.  Sebuah dokumen resolusi yang kemudian kita kenal sebagai Sumpah Pemuda lahir dari situ.

Lalu, bagaimana nasib sumpah itu sekarang?

Sesuatu yang sudah jarang dibicarakan bukan berarti hilang. Sejak Muh. Yamin menetapkan Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu bangsa pada 1953 hingga sekarang, negara menetapkan 28 Oktober sebagai Hari Sumpah Pemuda. Negara tak pernah lupa jika pada tanggal 28 Oktober, delapan puluh delapan tahun yang lalu para pemuda mempunyai tekad sekeras baja untuk membebaskan diri dari kolonialisme Belanda. Negara memang tak pernah lupa, namun bagaimana dengan pemudanya? Pemuda yang diantaranya adalah kita, para generasi Y.

Apa yang sudah kita lakukan untuk ibu pertiwi yang selama ini member kita tempat untuk tinggal dan makan enak? Mari bergerak, untuk mencari tahu jawaban itu bersama-sama :)

Wemiles saat berbicara tentang cita-cita

Untuk kalian yang ingin menyaksikan hasil liputan saya di Papua, bisa mampir ke sini:
Program Pahlawan Untuk Indonesia 2016 edisi Papua part 3

Tulisan ini dibuat dalam rangka gerakan nonprofit #mendadakNgeBlog bersama teman-teman blogger lainnya. Minggu ini kami serempak ngeblog dengan tema #SumpahPemuda2016. Setiap hari minggu kami akan memposting tulisan dengan beraneka tema. Kalian yang ingin ikutan dalam gerakan ini, silakan tinggalkan komentar di kolom.


Komentar

  1. Sedih banget... Asli sedih banget. Ini baru kena ula. Ish setelah dtinggal lama ya blognya, langsung diisi sama yang warbiyasak ��

    Bsk ak bantu repost ��

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... iya nih udah dihuni sarang laba-laba... Makasih sudah membaca mamah :)))

      Hapus
  2. Lak, kata-katamu selalu sukses menggambarkan sesuatu. Aku jadi berasa ikut masuk di narasimu. Langsung melayang menuju Papua. Aku setuju denganmu, sumpah pemuda sepertinya dijadikan perayaan tahunan semata, semangatnya? Semoga terus membara, seperti kamu menuliskan ini. Kena banget!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah energinya tersampaikan, Papua selalu mengajarkan banyak hal yang berbeda, yang pedih tapi tetap indah lewat senyuman mereka. Terima kasih sudah membaca syee :*

      Hapus
  3. Mba ulaaa aku khusyuk banget bacanya sambil membayangkan kondisi di sana. Gini ini kalo kita masih ngeluh sama kondisi pemadaman listrik bergilir, wifi lemot, bingung mau makan siang pake menu apa, rasanya kayak ga ada apa-apanya dibanding Wemiles dkk. :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya taam.. Di sana kalau mau ngeluh jadi malu. Kadang yang bikin orang nggak bersyukur itu karena sudah kenal dan tahu banyak hal ya.. Hehehe

      Makasih sudah membaca dan memberi komentar ya :)

      Hapus
  4. Wah... mata jadi panas, semoga air mata bisa tetap ditempatnya. Keren-keren. Ah..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. Dikeluarkan juga nggak papa mas (asal nggak ada yang tahu) :p

      Terimakasih sudah membaca dan memberi komentar ya :)

      Hapus
  5. Satu kata untuk isi tulisan ini MENYENTUH
    Sehari gak ketemu internet aja udah berasa kalang kabut kebakaran jenggot
    Bagaimana dengan sodara kita yang disana bahkan mandi pun jadi ritual seminggu sekali

    Tulisannya benar2 menyadarkan untuk lebih bersyukur lebih lebih dan lebih
    Keren mba tulisannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar.. Di sana boro-boro internet, air bersih buat minum atau mandi saja susah. Alhamdulillah banget kita ini tinggal di tempat yang serba terpenuhi, nggak kurang suatu apapun kecuali kurang syukurnya :))

      Terimakasih sudah membaca dan memberi komentar ya mbak Egha :)

      Hapus

Posting Komentar