Banyak orang meragukan kualitas film Indonesia. Hal ini tak bisa disalahkan sebab menjamurnya film Indonesia berbau horror seksual pada tahun 1990-an yang dapat dikatakan sebagai kiamatnya perfilman Indonesia membuat penonton antipati dan underestimate dengan film karya anak bangsa. Maka kebangkitan film Indonesia di awal tahun 2000-an seakan belum mampu mengembalikan nama baik film Indonesia di mata bangsanya sendiri. Selain itu kebudayaan film (film culture) di Indonesia sendiri belum berkembang. Masyarakat menonton film hanya sebagai tontonan untuk membuang waktu, bukan sebagai kebutuhan sebagaimana orang Amerika atau Eropa yang menonton film berdasarkan mutu. Film Indonesia adalah tontonan kelas menengah ke bawah. Masyarakat kelas atas masih menganggap film Indonesia bukan tontonan mereka. Jadi saat ada satu atau dua film Indonesia yang bagus sekalipun, mereka tetap segan menonton karena anggapan tersebut sudah terpaku di otak mereka. Maka jangan heran jika film Indonesia sering gagal di bioskop-bioskop kelas atas, sampai sekarang.
Di Jakarta
sendiri, hanya ada segelintir bioskop kelas menengah cenderung ke bawah yang
masih setia menayangkan film Indonesia. Satu yang paling sering dan konsisten
menayangkan film lokal dengan budget rendah
adalah jaringan Cineplex 21 Blok M Square. Padahal, film nasional merupakan
cerminan keadaan negeri yang sedang berkembang ini.
Berbicara mengenai tema, kota Jakarta sendiri menjadi salah satu tema yang seksi dan banyak diangkat para sineas untuk membuat sebuah film. Bagi saya sebagai penikmat film Indonesia merupakan sebuah keuntungan, sebab dengan menonton film Indonesia, terutama tentang Jakarta dapat menjadi alat saya (sebagai warga perantau ibukota) untuk lebih mengenal kota ini.
Berbicara mengenai tema, kota Jakarta sendiri menjadi salah satu tema yang seksi dan banyak diangkat para sineas untuk membuat sebuah film. Bagi saya sebagai penikmat film Indonesia merupakan sebuah keuntungan, sebab dengan menonton film Indonesia, terutama tentang Jakarta dapat menjadi alat saya (sebagai warga perantau ibukota) untuk lebih mengenal kota ini.
Maka, berikut
ini adalah beberapa film yang dengan jerih payah lumayan tinggi (sebab
keterbatasan layar dan jam tayang) yang saya bela-belain dengan sangat sadar untuk menontonnya di bioskop yang sebagian besar adalah Blok M Square meskipun sendiri. Simply untuk menghargai kerja keras para sineas film yang tidak
sembarangan dalam membuat film. Beberapa film dari rentang tahun 2013 (tahun pertama saya mulai tinggal di Jakarta) hingga
sekarang, yang membuat saya semakin jatuh cinta dengan kota yang shitty but romantic ini. Baiklah, mari berkenalan dengan wajah Jakarta.
1. Jalanan
(2013) - Daniel Ziv
Ini merupakan film dokumenter
yang tayang pertama kali pada Oktober 2013 di festival film terbesar di Asia,
Busan International Film Festival di Korea, yang juga memenangkan kategori Best Documentary pada 2014. Film arahan
sutradara Daniel Ziv yang ditayangkan dengan sangat terbatas di Indonesia. Di
Jakarta, Jalanan hanya mendapat jatah
tiga layar, dua diantaranya di jaringan XXI yaitu Blok M Square dan
Plaza Senayan dan satu layar di CGV Blitz (Dulu namanya Blitz Megaplex).
Berpusat pada kegiatan
sehari-hari tiga tokoh sentral yang merupakan pengamen jalanan, Boni, Ho, dan
Titi. Film ini berjalan dengan menghibur
dan apa adanya, jauh dari kesan berat dan segmented
laiknya film dokumenter pada umumnya. Proses pengerjaan film yang
menghabiskan waktu hampir lima tahun ini berbanding lurus dengan hasil akhir
yang matang. Bagaimana tidak, sang sutradara asal Kanada ini mengikuti
perjalanan hidup ketiga tokoh utama, mulai dari hidup di kolong jembatan, ikut kena razia dan
dipenjara di Panti Dinas Sosial (yang tempatnya jauh dari kata layak), bahkan
ikut pulang kampung ketika salah satu tokohnya, yaitu Titi mengunjungi
keluarganya di Jawa.
Tak heran jika film ini
berhasil menangkap kedewasaan pada setiap tokoh utamanya. Ho, dari yang awalnya
menganggap cinta hanya nafsu hingga berangkat ke KUA dengan mas kawin seadanya.
Titi dengan perjuangannya mendapatkan ijazah untuk kehidupan yang lebih layak,
dan Boni yang rumah kardusnya di kolong jembatan harus rela mengalami
penggusuran. Terdapat banyak detail menarik yang dilakukan ketiga tokoh utama
yang berhasil diabadikan kamera. Seperti ketika Boni masuk ke mall hanya untuk
merasakan buang air kecil di toilet yang mewah, lalu ketika Ho mengajak teman
kencannya makan di warung nasi padang yang bagi mereka merupakan tempat paling
megah.
Sekilas, premis
tersebut akan membuat kita berekspektasi Jalanan adalah film yang mengharukan
mengenai kisah kaum marjinal di Ibukota. Namun jangan salah, film ini justru
menunjukkan bahwa meskipun mereka tinggal di jalanan, setidaknya mereka masih
punya kebahagiaan yang jujur dan optimisme yang meluap-luap. Jauh dari kata
mengharukan, film ini menyuguhkan humor yang apa adanya dan tak jarang membuat
penonton tersenyum simpul hingga tertawa lebar. Lebih lagi, film garapan
sutradara yang sudah belasan tahun tinggal di Indonesia ini akan menyentil kaum
menengah atas melalui keluguan tingkah laku dan dialog jujur namun bernas tiga
pengamen jalanan ini. Beberapa dialog tersebut diantaranya sebagai berikut:
“Kalau
bawain lagu itu (lagu reliji) keren ya. Orang-orang pake jilbab biasanya sama pengamen susah
ngasihnya, kita bawain lagu itu kenceng ngasihnya.” - Titi
“Gue cinta Indonesia, nggak tahu
Indonesia cinta gue apa enggak.” - Ho yang menyebut dirinya pelacur Seni. Ini
tokoh paling menarik menurut saya.
“Macam-macam
orang, orang luar, Jepang, Cina, tai nya mau gabung, manusianya nggak mau
gabung.” - Boni
2. Selamat
Pagi, Malam (2014) - Lucky Kuswandi
Menilik dari judulnya
saja sudah sangat puitis. Selamat Pagi, Malam (Judul bahasa Inggrisnya In The
Absence of The Sun), menggambarkan rupa kejujuran Jakarta yang semakin malam
semakin telanjang. Ungkapan “Jika ingin mengenal seseorang, ajaklah ngobrol sampai larut malam” itu benar
sekali. Sebab malam hari tak ada bunyi bising klakson kendaraan, kemacetan,
asap kopaja, bajaj, dan angkutan umum bertebaran, pejalan kaki berlarian,
umpatan dan cacian tak berperikemanusiaan, dan segala bentuk kesibukan tak
berkesudahan di jalanan. Segala keruwetan itu memang tak akan terhindarkan,
namun kali ini Lucky Kuswandi menawarkan sisi Jakarta yang lebih dalam, yang
ternyata masih menyimpan kejujuran.
Terdapat tiga cerita
dari tiga perempuan dengan latar belakang yang berbeda dan tidak saling
terkait, namun sama-sama sedang dihadapkan pada masalah yang mengharuskan
mereka menulusuri jantung hati ibukota setelah matahari tenggelam. Adalah Gia
(Adinia Wirasti) yang baru saja pulang dari New
York dan mendapati kota tempat kelahirannya, Jakarta kini tak lagi sama.
Tak hanya Jakarta, Naomi (Marissa Anita) yang merupakan kekasih Gia ketika di
NY namun terlebih dulu kembali ke Indonesia ternyata telah larut dalam
kemunafikan topeng Jakarta. Penggunaan tongsis untuk berfoto, update status path, kepemilikan smartphone lebih dari satu, disentil
dengan tajam namun menyenangkan di film berdurasi 94 menit ini.
“Gia,
this is Jakarta. Kalo gue pura-pura jadi foreigner semuanya akan jadi lebih
gampang.” - Naomi
Meskipun pada akhirnya
seperti yang dikatakan Naomi “there’s no
place for us here”, pada proses perjalan di malam hari, Gia dan Naomi
berani untuk bersikap lebih jujur pada perasaan masing-masing. Hingga
menyelesaikan rindu yang belum terselesaikan.
Kisah kedua adalah
tentang Indri (Ina Panggabean), representasi seorang social climber yang terobsesi mencicipi nikmatnya hidup sebagai
warga kelas menengah atas. Untuk memenuhi hasratnya, Indri mencuri sepatu
bekas, membeli tas belanja yang terbuat dari kertas padahal isinya kosong hanya
agar terlihat keren ketika masuk mall, masuk
restoran mewah dengan penamaan menu dalam bahasa asing (chicken egg roll a.k.a lumpia) agar terlihat berkelas, dan
melakukan blind date dengan laki-laki
yang dikenalnya lewat internet, yang naasnya menggunakan profile picture tidak sesuai dengan aslinya. Kesialan Indri berubah
manis bersama seorang pelayan café yang
menghiburnya dengan sikap romantis dan berakhir dengan one night stand.
Sementara itu ada Ci
Surya (Dayu Wijanto), seorang janda yang baru ditinggal mati suaminya,
mendapati kenyataan bahwa selama ini ia diselingkuhi. Ia lalu menulusuri
kehidupan kelam Jakarta malam yang lekat dengan porstitusi untuk menelusuri
gundik suaminya. Lalu ia bertemu Sofia (Dira Sugandi), seorang pelacur yang
bersuamikan gigolo. Penelusuran tersebut membuat Ci Surya menemukan sensasi
lain hingga pada malam itu ia melakukan sesuatu yang lebih jujur, yang selama
ini belum pernah ia lakukan.
Latar belakang ketiga tokoh yang bertolak
belakang tersebut berjalan pada sebuah benang merah yang satu. Jakarta, yang
hanya berani mengumbar rindu pada malam hari. Rindu yang bentuknya beraneka
ragam (rindu terhadap pasangan, rindu dengan kejujuran perasaan, rindu dengan
identitas diri sendiri) dan segera tenggelam ketika pagi telah dipenuhi tenggat
dan waktu yang buru-buru. Dialog verbal maupun nonverbal yang dipaparkan secara
sarkastik akan membuat siapapun yang pernah tinggal untuk menetap di Jakarta
(bukan cuma singgah sehari dua hari) pasti merasa tersentil lalu bersama-sama
menertawakan ibukota yang ternyata banyak sisi ironinya. Seperti lagu Pergi Untuk Kembali yang dinyanyikan
dengan syahdu oleh Dira Sugandi di penghujung film, Jakarta, betapapun
menyebalkannya dan betapapun kamu mengutuk bahkan ingin pergi darinya, selalu
ada rindu yang siap tumpah untuk mebawamu lagi-lagi kembali.
3. Nay
(2015) - Djenar Maesa Ayu
Konsep pertunjukan
teater monolog yang diangkat dalam bentuk layar lebar masih tergolong baru
untuk film Indonesia. Ketika Nay hadir
dengan merilis trailer dan synopsis
resminya, masyarakat film gaduh berkicau tentang kemiripan film ini dengan film
Hollywood berjudul Locke (Steven
Knight) yang dibintangi Tom Hardy. Namun penghakiman tersebut kurang adil
rasanya jika belum dibuktikan langsung dengan menonton film ini dari awal
hingga akhir. Bukan film adaptasi novel, tapi nama Nay ini memang ada di
beberapa karya Djenar.
Nay (Sha Ine
Febriyanti, ini favorit saya), seorang artis yang sedang naik daun baru saja mengetahui bahwa
dirinya tengah mengandung hasil hubungan intim dengan pacarnya, Ben (Paul
Agusta). Nay yang dalam perjalanannya bermaksud menemui Ben menemui banyak
masalah yang bersumber dari telepom dari orang-orang terdekatnya, diantaranya
adalah sahabatnya Ajeng (Cinta Ramlan), mantan pacarnya Pram (Joko Anwar),
hingga Ben dan maminya. Harapan Nay untuk bisa menyelesaikan masalah yang akan
mengancam karirnya malam itu juga runtuh ketika orang-orang terdekatnya tak
bisa memberi solusi yang dianggap benar-benar membantunya.
Malam itu, sambil
menyetir mini cooper kuning, Nay
mengajak penonton berkontemplasi tentang kehidupan tak wajar yang ia alami
sejak kecil. Tokoh lain hanya muncul sebatas suara telepon. Maka harapan
terbesar yang bisa dinikmati penonton pada film ini adalah aksi monolog pemera
utamanya. Jangan pernah berpikir film ini akan membosankan karena sepanjang
film berdurasi 80 menit penonton hanya akan melihat tokoh utama berbicara
sendirian. Sebab Ine Febriyanti sangat apik memerankan tokoh Nay. Mulai dari
berusaha tegar, emosional, sampai mencoba berdamai dengan keadaan.
Beberapa pertanyaan
yang dilontarkan Nay kerap membuat penonton ikut bertanya-tanya, terlebih
tentang standar ganda makna kebenaran. Dimana budaya saling menyalahkan tanpa
introspeksi kerap terjadi sehingga makna kebenaran tersebut acapkali bias. Tak
hanya itu, kekuatan film ini juga tercermin dari isu-isu sosial dan budaya
marjinalisasi perempuan dalam dialog-dialog cergas yang terlontar dari mulut
Nay dan mami Ben.
Nay kerap memposisikan
diri seolah berdialog dengan Sang Ibu yang ia ibaratkan sedang duduk di
sampingnya, ia lalu menirukan gaya bicara ibunya yang kemudian ia lanjutkan
dengan komentar sangkalannya. Dari beberapa adegan bersama sosok imajiner Sang
Ibu tersebut cukup menunjukkan hubungan tidak baik mereka sebagai ibu dan anak..
Sadar atau tidak, kita semua pasti pernah melakukan seperti apa yang dilakukan
Nay, berbicara dengan diri sendiri, melakukan perenungan, napak tilas, atau
bahkan menertawakan kehidupan yang seakan tak pernah ramah.
Film yang memotret
ekspresi pemainnya dengan indah, namun tetap tidak melupakan estetika Jakarta
malam sebagai latar perjalanan tokoh utama. Meskipun editing film sedikit kacau dalam mengaitkan latar tempat yang
dilewati Nay (warga Jakarta pasti paham) dan detail-detail kecil lainnya
seperti lamanya durasi menelepon, serta kesesuaian waktu malam yang sudah larut
(namun tetap diselipkan intercut kemacetan
jalan), semua itu akan termaafkan oleh gambar-gambar yang teramat puitis oleh
Ipung Rachmat Syaiful. Sudut-sudut cantik kota Jakarta yang tenang tapi
menghanyutkan berhasil ditangkap dengan cantik dan romantis, terlebih ketika
hujan. Menonton Nay seperti sedang melakukan perjalanan batin yang tak bisa
ditebak ujungnya seperti apa. Namun ada yang lebih penting daripada menebak
sebuah ujung, proses kontemplasi, mengenal ego diri sendiri, memaafkan masa
lalu. Itulah yang mungkin sulit kita lakukan, alih-alih masih menyisakan
kebencian.
A
Copy of My Mind (2016) Joko Anwar
Penggemar Joko Anwar
pasti paham betul dengan trade marknya
sebagai auteur film misterius, penuh
terror. Namun tahun ini ia mencoba bereksperimen dengan karya yang lebih
membumi, bukan lagi dunia antah berantah dengan konsep ratu adil di dalamnya,
melainkan semesta yang benar-benar ada dan nyata, Jakarta, Indonesia. Joko Anwar
mengajak kita berkenalan dengan tua tokoh utama yang digambarkan begitu
manusiawi. Sari (Tara Basro), pegawai dari sebuah salon kecantikan kelas bawah
yang gemar menonton film dari DVD bajakan sepulang kerja di sebuah kamar kos
yang sempit nan kumuh. Nasib membawanya bertemu dan mengenal Alek (Chicco
Jeriko), pembuat terjemahan DVD bajakan yang sering dibeli Sari. Pertemuan absurd Sari dan Alex menguncang
benih-benih cinta yang wajar dan tersaji apa adanya.
Kesederhanaan. Itulah yang
coba ditampilkan dalam film ini. Jakarta tanpa hingar bingar kemewahan dan
segala hal yang megah. Jakarta yang sederhana, penuh dengan kepulan asap
kendaraan, panasnya terik matahari ketika siang, sumpeknya angkutan umum,
berisiknya klakson kendaraan, sampai sempitnya lahan pemukiman kelas bawah,
itulah wajah asli Jakarta yang ingin ditunjukkan. Jakarta dari kacamata wong cilik yang hanya ingin hidup wajar
tanpa mempedulikan hiruk pikuk politik di sekitarnya. Toh politik juga tak akan banyak berpengaruh pada kehidupan mereka.
Maka pada awalnya, film ini mengalir begitu sederhana, sesederhana dialog Sari
dan Alek yang membahas tentang film favorit dan mimpi masa depan. Tak ada
rayuan gombal dari mulut Alek, tak ada kebohongan dari cerita Sari. Ungkapan
saling ketertarikan Sari dan Alex mudah saja kentara dari gesture, tatap mata, chemistry
dan narasi yang keluar dengan begitu wajar. Seolah mereka berbicara tanpa script, seolah mereka saling tertarik
dan ingin mengenal satu sama lain.
Meskipun pada akhirnya
cerita menukik tajam pada konflik politik (karena ini adalah film Joko Anwar),
efek chemistry dua lead actor dalam film ini masih efektif
menghadirkan emosi bagi penonton untuk turut merasakan kecemasan terhadap nasib
tokoh utama dengan cukup kuat. Dan satu lagi, film tentang Jakarta yang bisa
menjadi referensi bagi penonton tentang bagaimana kerasnya hidup di Jakarta,
naik turun kopaja sampai keringetan mengundang haus dahaga dan beli minum di
pinggir jalan, tentang bagaimana untuk tetap menghidupkan impian sederhana
meskipun tak punya banyak uang, seperti masuk ke toko elektronik dan
berpura-pura akan membeli salah satu home
theatre, tentang kehidupan mbak-mbak salon
kecantikan baik yang mahal maupun murah yang sebenernya treatmentnya sama saja, tentang bagaimana pendekatan dua kaum
menengah bawah yang mulai dirudung cinta, tentang bagaimana sapaan elo-gue mulai berubah jadi aku-kamu yang canggung, tentang keintiman adegan
bercinta penuh keringat bermodalkan kipas angin dan kasur butut dalam kamar sempit namun tetap
terlihat sangat artsy dan membuai
mata (andai yang telanjang bukan Tara
Basro dan Chicco Jeriko mungkin tak akan semenarik itu), dan mungkin tentang referensi dimana sebaiknya
membeli DVD bajakan (LoL).
Akhir kata, belum ada kata cukup untuk film Indonesia. Sebab genre empat film yang saya ulas di atas kesemuanya adalah drama. Genre lain bukannya tidak ada, namun masih jauh dari kata sempurna. Maka besar harapan kami sebagai penikmat film Indonesia untuk dapat menyaksikan eksplorasi genre film Indonesia yang layak kami tonton dan apresiasi. Semoga film Indonesia dapat segera menjadi tuan rumah yang mumpuni di negerinya sendiri.
Ulasannya bagus mba
BalasHapusAku baru tau loh judul2 film yg diatas :D
Berasa gagal jd org Indonesia
aku tau film-film ini. jadi inget kenapa tahunya karena pernah mau bahas di blog. terus lupa sampai sekarang hahaha. tau semua, tapi belum pernah nonton semuanya hahaha. cuma liat trailer dan baca ulasan-ulasannya. :)))
BalasHapusgaya tulisan Ula, tetep deh ala anak movie hahahaha