KEBERSAMAAN DI SETIAP TEGUKAN KOPI DUSUN SIRAP


A Cup of Java, atau secangkir Jawa, adalah julukan yang pernah disematkan Belanda atas hasil bumi unggulan Indonesia, yaitu kopi. Pulau Jawa yang saat itu merupakan daerah penghasil kopi terbesar mendapat julukan agung, yang bahkan jika melihat kamus belanda pada awal abad ke-20, Java berarti kopi. Salah satu warisan dari penjajahan Belanda yang sekarang bisa kita syukuri adalah kopi. Konon Belanda memegang peranan penting bagi perkembangan kopi di Indonesia. Belanda membawa masuk biji kopi pertama di pulau Jawa, hingga kemudian menyebarkannya di seluruh Pulau Jawa yang sampai sekarang bisa kita nikmati dan juga populer di mata dunia.

Berbicara tentang kopi di Jawa, perjumpaan pertama saya dengan Kopi Jawa adalah ketika mengunjungi Semarang. Dari informasi seorang eksportir kopi di Semarang, Moelyono Soesilo, saya berkesempatan bertandang ke lereng Gunung Kelir. Letaknya sedikit terpencil, sekitar 60 kilometer di selatan pusat Kota Semarang. Namun ketika sampai di sana saya takjub. Budidaya kopi yang sudah menjadi primadona unggulan di Dusun Sirap ini telah dikembangkan menjadi Desa Wisata Kopi.

Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Kopi Gunung Kelir yang mulai dirintis sejak 2010 ini mulai menemukan titik terang. Sebelumnya perdagangan kopi di sana masih dikuasai tengkulak. Awalnya Ngadiyanto, yang akhirnya didapuk menjadi Ketua Gapoktan Kopi Gunung Kelir, merasa terkungkung dengan kopi yang ia tanam sendiri, sebab semuanya diambil dan dihargai sesuai keinginan tengkulak. Ia mulai mendorong petani untuk bersatu dalam sebuah kelompok untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.


PETIK MERAH: Ibu-ibu sedang memanen buah kopi (atas), lalu menyortirnya (bawah).

Lebih lanjut para petani dengan keinginan untuk terus berkembang mulai belajar cara bertani yang benar sehingga kopi mereka memiliki nilai lebih yang bisa mereka tawarkan sekaligus mengangkat nama desanya. Bahkan mereka juga mengerjakan sendiri semua proses pengolahan kopi hingga siap saji. Para petani-petani kopi yang sudah tua bertugas menanam kopi dan melakukan perawatan, jika sudah merah, para ibu-ibu yang bertugas memetiknya. Tujuh tahun terakhir, pemetikan kopi di Dusun Sirap ini sudah petik merah. Bergerak ke proses pasca panen, petani telah mendapat bantuan dari pemerintah berupa mesin pulper. Penjemuran kopi sendiri dilakukan di halaman kedai kopi yang dibangun untuk menyambut para wisatawan yang berkunjung. Untuk urusan kedai, dipercayakan kepada pemuda desa setempat.

TRADISIONAL: Proses sangrai biji kopi menggunakan kwali dan kayu bakar.

Tak hanya petani yang kecipratan rejeki dari kopi, para pemuda di Dusun Sirap juga tak perlu jauh-jauh merantau ke kota. Seperti Imam Wahyudi, pengelola kedai lebih suka menyebutnya warung kopi ndeso. Ia dan beberapa pemuda yang tergerak untuk mengangkat kopi Dusun Sirap ini mulai belajar menyeduh kopi manual brew secara otodidak. Beberapa komunitas kopi mereka kunjungi untuk berguru dan mendapatkan ilmu. Hasilnya? bagi saya kedai kopi yang diberi nama Wande (Warung Ndeso) ini lebih dari sekedar warung kopi biasa. Pengunjung dapat merasakan sensasi ngopi di tengah-tengah kebun kopi. Terdapat gubuk-gubuk yang tersebar dengan pemandangan kebun kopi, suasana yang tak riuh, dan udara segar tentunya. Kopi yang disajikan merupakan kopi hasil kebun desa mereka sendiri. Uniknya peralatan yang digunakan di Kedai sudah menyerupai kedai kopi modern di kota besar. Peralatan manual brew saya lihat lengkap terpasang di meja bar kedai. Terdapat rockpresso, V60 sampai Vietnam drip untuk menyeduh arabika dan robusta Dusun Sirap.

PRESTISIUS : Barista, profesi baru bagi pemuda Dusun Sirap, Kab. Semarang, Jawa Tengah.


Karena saya lebih suka kopi tanpa ampas, saya memesan Arabika Kelir yang diseduh menggunakan filter. Di sesapan pertama saya masih belum menemukan notes di kopi kelir tersebut (maklum masih awam). Di sesapan berikutnya saya berusaha menerjemahkan kopi kelir dengan notes moca yang membuat saya tak bisa berhenti menyesapnya hingga tegukan terakhir. Ringan, nyaman di lidah, bikin kangen. Sesuai sloganyang dikembangkan di kawasan Wisata Edukasi Kopi dan Budaya Dusun Kopi Sirap, Mlosok, Ngopi, Ngangeni. Pengalaman ngopi  di tengah pemandangan alam yang masih asri bisa membuat kangen siapa saja yang pernah ke sini. Andai semangat gotong royong dan kesadaran akan potensi wilayahnya yang dimiliki petani kopi Dusun Sirap dan para pemudanya ini menular ke daerah lainnya dalam semua bidang, keren sudah negeri ini.

Kab. Semarang, 13 Juli 2017
(Foto-foto merupakan dokumentasi pribadi)

Komentar