Bismillahirrahmanirrohim
Hai Siti Kewe,
Kunikahen ko orom kuyu
Wih kin walimu
Tanoh kin saksimu
Lo
ken saksi kalammu
(Dengan menyebut nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)
Hai
Siti Kawa (sebutan untuk kopi)
Kunikahkan
Engkau dengan angin
Air
sebagai walimu
Tanah
sebagai saksimu
Matahari
sebagai saksi kalammu
Sebuah pengharapan kuno di Gayo,
yang sekilas terdengar seperti sebuah mantra pernikahan kopi yang diawali
dengan pengungkapan bahasa agama. Lalu diucapkanlah ijab Kabul kopi dengan
angin. Sebab jika tak ada angin, makan tak akan aada penyerbukan kopi, maka tak
akan terjadi perkembangan genetik pada kopi. Air sebagai wali, tanpa air maka tak
ada yang mewakili kopi sebab itulah sumber kehidupan mereka. Kemudian tanah
sebagai saksi, sebab tanah merupakan tempat mereka hidup dan tumbuh. Matahari
sebagai saksi kalammu, kalam berarti kata, kata yang menandakan waktu sebab
matahari adalah penanda perputaran waktu. Sebuah pengharapan terhadap Yang Maha
Kuasa, makhluk hidup, dan manusia, semoga kopi yang ditanam menjadi pengasih
dan penyayang bagi semuanya.
Bicara kopi di Gayo, tak hanya
bicara soal minuman. Ada cerita yang sangat panjang, seolah tak pernah habis
diperbincangkan bahkan hingga larut malam. Apalagi bagi awam seperti saya, yang
hanya 7 malam di sana, namun tiap hari tak henti-hentinya dicekokin kopi, dan
cerita-cerita magis tentangnya.
Seperti sebuah penciptaan pada
umumnya, perjalanan kopi dimulai dari tangan petani. Petani kopi yang melakukan
pembibitan, penanaman, perawatan, hingga pemetikan buah. Salah satu keunikan
petani kopi di Gayo ini (mungkin tak semua namun beruntung saya bertemu yang
seperti ini), adalah Salmy, 52 tahun, asli Gayo. Salmy rutin berkomunikasi
dengan pohon kopi di kebunnya.
SAKRAL: Di
Gayo, petani memperlakukan kopi seperti buah hatinya sendiri.
|
Ya, komunikasi secara lisan maupun
hati, dilakukan untuk meminta petunjuk. Ia menganggap antara kopi dan dirinya
sebagai petani adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan. Yang dibicarakan
adalah perbandingan pohon dengan yang
lain, mengapa kamu tak tumbuh lebat? Aku kurang ngasih kamu apa? Penyebabnya
apa? Mari saya berikan.
Lalu saya bertanya kepadanya, “Bapak yakin kopi-kopi ini mendengar apa
yang bapak bicarakan kepada mereka?” lalu sambil tersenyum dan menerawang
ia menjawab “Nah, memang tak bisa saya
dengar secara lisan seperti saya berbicara kepada mereka, namun ketika saya
bermediasi dari hati ke hati, maka si kopi ini akan memberikan jawaban lewat
hati saya. Pak, mungkin saya kurang pupuk. Mungkin saya memang ditanam di tanah
yang sama dengan (pohon kopi) yang lain, tapi saya kurang ini. Jadi saya mohon
Bapak berikanlah itu sama saya. Dari situ saya tahu apa kebutuhan kopi-kopi
saya.” Begitu kira-kira dialog yang
diucapkan sang kopi yang bisa didengar melalui hati Salmy.
Menurut Salmy, kebun kopi tak perlu
luas supaya bisa dilakukan perawatan secara intensif. Minimal dua hingga empat
jam dalam sehari ia wajib masuk ke kebun. Entah untuk melakukan perawatan
seperti pemangkasan dahan, atau sekedar melihat kabar pohon-pohon kopi yang
sudah ia anggap buah hatinya sendiri. Ia percaya bahwa kopi dan petani adalah
satu hati. Kalau petani tak peduli dengan tanaman kopi makan kopi juga tak
peduli dengan petani. Kebiasaan pendekatan terhadap kopi tersebut ia pelajari
dari almarhum orang tuanya yang juga petani kopi.
BERBINCANG DENGAN KOPI: Salmy, 52 tahun rajin membesuk kebun
kopinya setiap hari.
|
Sungguh sebuah hubungan yang begitu
mesra, antara petani dengan kopi yang dirawatnya. Hal itu selaras dengan relasi
ideal manusia dengan alam sekitarnya. Perlakuan istimewa terhadap sebuah
tumbuhan, yaitu kopi, membuat saya turut belajar untuk mencintai alam. Sebab
alam telah memberikan banyak kepada kita, namun apa yang sudah kita berikan
pada alam?
Takengon, 25 Oktober 2017
(Foto-foto
merupakan dokumentasi pribadi)
Komentar
Posting Komentar