Cukuplah Aku




"Cukuplah Aku"




Jalanan sempit itu masih ramai saat kita menjejakkan langkah di sana. Beberapa mobil telah berbaris dengan rapi di pinggir kanan kiri, seakan tak peduli keberadaannya menambah atmosfer sesak di tempat yang memang tak lebar itu. Aku dan sahabatku melangkah gontai menyusuri trotoar kota parisnya Indonesia.

“Welcome to Braga!” kata sahabatku bersemangat. Kau selalu begitu, tak pernah membiarkan mendung menggelayuti langit muka cerahmu. Jika mendung menunjukkan tanda-tanda kedatangan, kau segera mengeluarkan payung. Bukan untuk berteduh, melainkan untuk menari bersamanya. Guyuran hujan itu justru menempamu menjadi lebih kuat. Membuatmu tidak mudah sakit dan bermanja-manja dengan keadaan.

Enam tahun sudah kita resmi bersahabat, berbagi peluk. Sejak pertama kali kau yang masih mengenakan seragam putih abu-abu memilihku menjadi sahabatmu. Sejak pertama kali aku bersedia dan mengangguk setuju.

Kau tetap seperti pohon beringin yang kokoh. Di bawah sana aku sering berlindung dari hujan dan angin. Stranger. Begitulah teman-teman sekelas menjulukimu atas kelakuanmu yang mereka anggap tidak wajar. Tapi, pernahkah kau ambil pusing dengan julukan itu? Pernahkah kau ambil pusing apa kata orang? Setauku batang tubuhmu lebih kokoh dari banyaknya daun yang menyuruhmu tumbang, namun justru merekalah yang gugur duluan.


“Sudah lama aku tak bercumbu dengan rasa santai ini. Bebas. Lepas. Tanpa batas.” Kau berkata lagi seolah tak butuh tanggapan. Hanya meluapkan perasaan yang sedang kau rasakan. Kadang aku juga ingin seperti itu. Bisa merasakan bebas yang sebenarnya. Bebas tanpa pura-pura.

Kau mengajakku memilih satu sudut jalan untuk kita lewati duluan. Pilihan random, sebab kau sendiri juga tak begitu hafal. Meskipun sudah hampir satu tahun kau singgah di Bandung, kau tak pernah punya waktu untuk sekedar berjalan santai. Fokusmu hanya kerja keras dan terus menghasilkan.

Lalu kita berhenti pada satu ujung persimpangan dengan sebuah plang bertuliskan Jl. Braga. Seperti banyak yang sudah dilakukan orang. Kita menangkap cahaya, mengabadikan momen, berlatarkan jalan terkenal di Bandung itu.

“Udah lama gue nggak makan nasi goreng langganan. Malam ini kita makan di sana yuk!.” katamu membuat keputusan. Penjual nasi goreng yang kau maksud adalah pedagang kaki lima di pinggir jalan. Kau selalu berkata-kata “Meskipun di pinggir jalan, rasanya sama kayak di restoran”. Sejak kau sibuk dengan kerjaan, jarang sekali kau mampir ke tempat itu lagi.

Matahari mulai menyembunyikan batang hidungnya. Membuat warna di sekitar menjadi temaram. Kami sudah sampai di tempat yang dia maksud. Namun tidak ada tanda-tanda penjual nasi goreng di situ. Hanya penjual tahu gejrot, bakso, dan sate ayam yang terlihat sedang menyiapkan dagangan. Kau mengajakku beristirahat sambil menunggu penjual nasi goreng datang.

Saat duduk di salah satu trotoar pinggir jalan, raut mukamu tiba-tiba berubah. Kulihat pandangan matamu mulai menyapu keadaan sekitar. Entah apa yang kau cari. Kau seperti sedang berusaha menyusun kepingan puzzle yang berantakan. Bola matamu masih sibuk mencari, dahimu mulai berkerut, dan berulang kali kau menggigit bibir bawah. Apa yang terjadi sahabatku?

“Kau kenapa?” kuberanikan diriku bertanya. Kadang aku takut bertanya padamu. Kau seperti meletakkan sebuah tameng yang kuat sehingga tak kau ijinkan aku masuk ke dalamnya. Aku sendiri tak pernah berusaha menerobos tameng itu. Aku takut jika aku nekat menelanjangi setiap jengkal pikiranmu, kau akan sedih.

“Gue? Nggak kok. Cuma nggak sengaja teringat sesuatu yang seharusnya nggak gue inget-inget lagi.” jawabmu mencoba sewajar mungkin. Tak lupa kau menorehkan senyum agar semua terlihat baik-baik saja. Aku tahu, kali ini kau bukannya tak sengaja. Tapi kau sengaja menenggelamkan dirimu pada sebuah kolam besar berisi air keruh. Air yang membuatmu sesak tapi kau paksakan untuk tetap menyelam.

“Tentang tempat ini? Atau tentang seseorang?” tanyaku memberi umpan, dan aku yakin detik selanjutnya kamu akan bercerita panjang lebar seolah kisahmu tak pernah bertemu dengan titik. Maaf, tapi aku bisa menebak topik pembicaraan mana yang akan kau ceritakan. Kaupun pasti juga tahu kalau aku sudah tahu. Tapi biarlah, hari ini tercatat sebagai salah satu hari bersejarahmu. Maka aku tak akan melarangmu melakukan apapun yang kau suka, termasuk mengenang masa lalu yang baru saja berlalu.

“Mungkin keduanya.” jawabnya. Matanya menerawang pada satu titik di depan kami.

 “Gue punya kenangan tentang tempat ini dan seseorang. Ini adalah tempat pertama kali gue bertemu dengannya, mantan gue yang terakhir.” kau mulai membuka cerita dengan bibirmu yang terangkat sebelah. Dan aku sangat paham kalau kau sudah bercerita, tidak ada satu hal apapun yang bisa membuatmu berhenti.


*****

Enam bulan lalu tepatnya saat tahun baru, gue jalan ke Braga sama temen-temen radio tempat gue kerja. Tujuan kami bukan pesta atau foya-foya,  hanya menikmati malam pergantian rame-rame. Benar saja, kita hanya berjalan menyusuri Braga yang padat pengunjung. Mau mampir cafepun semuanya full booked.

Jadilah gue sama temen-temen cuma bisa jalan sambil sesekali jepret sana-sini. Sambil jalan, gue mengamati berbagai jenis orang yang punya takdir sama kayak gue malam ini, enjoyed the holy new year’s eve at Braga. Ada banyak macam orang di sini, mulai ddari anak kecil berkuncir kuda dengan terompet di tangan, sedang berjalan bersama ayah ibunya, gerombolan remaja yang sibuk bercanda sampai salah satunya tak sengaja menabrakku tanpa minta maaf, dan yang paling banyak adalah sepasang kekasih baik yang bergandengan tangan, hingga saling merangkul, they’re all gathered in there.

Pada suatu spot yang kami anggap menarik, kami memutuskan untuk berfoto bersama. Karena gue anak baru jadi kena bully disuruh motret mereka duluan. Terpaksa gue jabani permintaan itu, asal habis itu gue ganti dipotret. Beberapa jepret berhasil gue abadikan dengan cantik. Mereka langsung mencomot SLR dari tangan gue untuk melihat hasilnya.

Saat itu tiba-tiba seorang cowok datang minta tolong sama gue buat motret dia sama ceweknya. Cih, dikira gue fotografer keliling kali. Tapi gue nggak tega juga sih buat nolak, soalnya seorang cewek berambut panjang dengan pakaian mirip Barbie udah keliatan manyun di pojokan. Sampai gue potret merekapun, si cewek tetep nggak mau senyum. Dan inilah pembicaraan yang berhasil gue overheard dari sepasang kekasih yang lagi make jasa gue jadi tukang potret.

Cowok: “Ayolah sayang, katanya kamu mau foto? Nih, aku udah minta tolong orang biar jadinya bagus.”
Cewek: “Aku udah nggak mood sekarang. Kamu nggak bisa lihat apa? Make up aku udah luntur, rambutku udah kusut. Percuma deh aku dandan cantik kalau ujung-ujungnya kita cuma jalan kaki nggak jelas gini.”
Buset! Salah makan nih cewek. Gue heran, kok si cowok betah ya ngeladenin cewek model gini. Lalu he came over to me,  ngambil kameranya. Then he whispered,

“Makasih ya. Cewek emang suka gitu kalau lagi PMS, kerasukan siluman rubah ekor sembilan.”

“Emang lu kira dia Naruto?” dia kaget mendengar jawaban gue . Nggak nyangka kali gue bakalan ngeh sama guyonan isengnya.

“Ngerti juga lu apa yang gue maksud.” katanya sambil senyum simpul kemudian berlalu.

Sambil menggandeng ceweknya menuju arah yang berlawanan, he stole glances at me. Refleks gue langsung senyum. Detik itu juga gue sadar kalo cowok itu mirip Tom Cruise. Serius gue nggak bohong. Tapi dengan kulit yang lebih coklat, rambut yang lebih cepak, dan warna mata yang lebih hitam. Hahaha...

Lamunan gue terputus gara-gara bunyi kembang api berpadu dengan terompet yang menggema dari segala penjuru. Ucapan happy new year terdengar silih berganti seperti dengungan lalat. Semua orang mendongak ke atas, mencari kembang api paling indah sebagai tempat matanya berlabuh. Beberapa di antara mereka ada yang mengangkat tangan sambil komat-kamit menyuarakan harapan dan keinginannya. Bahkan ada sepasang remaja putri yang meneriakkan keinginannya menghadap langit. “Tahun baru, move on!” itu salah satu yang bisa gue curi denger.

Masih banyak orang yang menggantung harapan di pergantian tahun. As it names, harapan pasti tentang segala sesuatu yang lebih baik. Andai setiap malam orang-orang punya harapan besar seperti yang dilakukannya saat malam tahun baru, dunia ini nggak bakal dipenuhi pengecut dan pecundang. Widiiih... Ngomong apa gue barusan?

Lama-lama pegel juga telinga gue denger polusi suara yang nggak abis-abis. Akhirnya yang gue lakukan adalah menutup telinga rapat-rapat dan merem, nyoba nyari ketenangan gue sendiri. And guess what i found? Gue ngelihat si cowok Tom Cruise yang lagi ngelirik gue sambil senyum. Persis sama yang udah dia lakuin tadi. Oh Gosh! Lupain!

Jadi ceritanya seminggu kemudian, gue jalan lagi ke Braga. Kali ini sama temen kost gue yang baru. Dia baru pindah ke Bandung, pengen jalan-jalan, yaudah gue temenin. Gue ngajak dia makan nasi goreng kaki lima langganan gue. Coba tebak gue ketemu siapa di sana? Si Tom Cruise! Dia lagi makan sendirian di salah satu meja di pojokan. Lalu dengan santainya gue menghampiri mejanya.

“Mana cewek loe?” celetuk gue yang bikin dia keselek, trus noleh ngeliat mata gue. Gue langsung freeze di tempat.

“Eh elo, cewek gue nggak ikut. Lagian mana mau dia gue ajak ke tempat beginian.” jawabnya sambil mempersilakan gue duduk.

“Kenalin ini temen kost gue.” gue ngenalin temen gue, then they’re shake their hand. Lalu dia balik menatap gue lagi.

“Lu nge-kost di sini?” tanyanya dan selalu saja saat matanya ngelihat gue, butuh waktu beberapa detik buat ngumpulin nyawa baru bisa ngejawab pertanyaan yang dilontarkannya.

“Iya, gue kerja di Bandung. Sebenernya gue orang Jawa mas bro.” kata gue yang sengaja memperlihatkan medoknya gue. Dia teretawa, manis sekali.

“Hahaha... Gokil lu ya ternyata. Kerja di mana lu?” begitulah, percakapan kami mengalir begitu saja. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari kegemaran seperti musik dan film, sampai kesibukan masing-masing di kota kembang ini. Satu hal yang gue suka dari percakapan malam itu, dia sama sekali nggak cerita tentang si Barbie.

Kalo nggak inget tujuan awal gue adalah nganter temen kost gue jalan-jalan, mungkin bisa sampe pagi gue ngobrol ngalor ngidul sama tu cowok. Akhirnya gue pamitan pulang dengan alasan temen gue. Dan sebuah pertanyaan ia lontarkan padaku tepat sebelum gue keluar dari warung.

“Jadwal siaran lu kapan?”

#####

“Jadi semenjak itu dia sering denger kamu siaran?” tanyaku penuh selidik. Selama ini aku tak pernah terlalu cerewet untuk bertanya tentang kehidupan pribadimu. Sebab aku takut jika pertanyaanku justru menjadi cuka jika terdapat luka di tubuhmu. Aku takut tak bisa memberikan obat penawar yang bisa mengobatimu.


Sejak dulu persahabatan kita seperti hubungan layang-layang dan angin. Layang-layang membutuhkan angin untuk dapat terbang tinggi. Sedangkan angin membutuhkan layang-layang agar eksistensinya diakui.  Layang-layang tak akan berarti tanpa kehadiran angin. Angin  tidak akan dicari tanpa layang-layang yang menggelayuti.



Namun layang-layang tak pernah tahu bagaimana wujud angin. Ia hanya bisa merasakan kehadirannya. Berbagi suka duka bersama di bawah kolong langit. Angin juga tak pernah paham bagaimana layang-layang bisa tercipta. Dia hanya tau layang-layang diciptakan untuk menjadi sahabatnya. Apapun latar belakangnya.

“Dia jadi listener yang kirim SMS setiap kali gue siaran, entah sekedar menyapa, atau request lagu. Dan dia juga sering mention ke twitter radio gue. Dari situ gue sering tuker mention sama dia. Sampai he asked me to go out.” kali ini sebuah senyum terpancar dari bibir mungilmu.

Cerita ini akan sampai pada bagian kau berbunga-bunga dan aku bersyukur, akhirnya kau bertemu seseorang yang bisa kau andalkan di jota perantauan.

 “Waktu dia ngajak gue jalan, sedikitpun gue nggak mikir soal ceweknya gimana. Yang gue tahu kami sama-sama nyaman dan ya udah. Ibarat tutup sama botol, kami udah klik satu sama lain.” jelasnya. Dalam hal percintaan, sahabatku yang satu ini memang sangat mengutamakan kenyamanan. Pernah waktu SMA dia pacaran hanya dua hari. Alasannya karena kamu nggak nyaman sama cowok yang ngejar-ngejar dia itu. “Risih gue!” katamu saat itu.

“Tapi kemudian, tanpa gue minta dia ngejelasin kalau dia udah putus sama si barbie. Beberapa kali kami jalan, terus dia nembak gue. Di sini juga tempatnya, deket warung nasi goreng langganan gue. Tiba-tiba dia nyuruh gue berhenti jalan, terus dia kayak ngambil sesuatu di dalam tasnya, then he showed me a plain paper.” jelasmu makin antusias sambil memperagakan gerakan tangan yang menunjukkan sebuah kertas.

“Aku punya satu pertanyaan buat kamu. Tolong tulis jawabannya di sini. Will you be my girl?” itulah yang diucapkannya di malam inisiasi nembak gue. Trus awalnya gue nulis NO gede. Sebelum kerutnya berkerut ngeliat jawaban itu, buru-buru gue tambahkan “NO reason to say NO!” then he hugged me. Kocak pokoknya. Hahaha....” jeda sebentar. Kamu  melirik keadaan sekitar, memastikan tempat itu masih sama seperti yang dulu.

“Satu hal yang gue suka sama dia adalah semangat kerja keras yang bikin gue kagum. Lu tau kan gue adalah seorang pekerja keras yang suka nekat.” kedua bola matanya mulai membesar saat menceritakan sesuatu yang sangat ia sukai. Ya, aku tahu kau adalah pekerja keras. Kamu tak kenal siapa-siapa di Bandung tapi kau nekat pergi ke sini untuk mewujudkan impianmu menjadi penyiar radio. Tentu saja kau bereskan semua urusanmu sendiri. Katamu banyak artis-artis indonesia yang sekarang terkenal berasal dari orang radio. Kau ingin mengikuti jejak mereka, menjadi orang radio yang sukses.

“Nah, dia itu lebih nekat lagi daripada gue. Pokoknya nggak akan ada satupun yang bisa menghalanginya buat punya mimpi dan sekolah yang tinggi. Gue selalu suka cowok yang mempunyai prinsip kuat seperti itu.” pungkasnya.


*****

Sejak pacaran sama dia, hari-hari gue kontan berubah. Dari yang sebelumnya kemana-mana sendiri, sekarang ada pacar yang mau nemenin. Dari yang semula tidur sendiri, sekarang ada yang nemenin. Nemenin lewat telepon maksudnya. Ngeres aja lu.

Satu hal yang gue tekankan sejak awal pacaran adalah gue nggak mau mengekangnya. Dia bebas mau bergaul sama siapapun, begitu juga gue. Asal ada batasan-batasan tertentu yang masing-masing dari kita pasti udah tahu lah tanpa harus dijelasin secara detail. Jadi kalau disimpulkan, prinsip pacaran kami menganut politik “Bebas Aktif”. Bebas bergaul dengan siapapun, tapi harus aktif menyaring mana yang sesuai dan mana yang bukan.

Selama pacaran hari-hari gue berjalan normal seperti biasa, kecuali pengeluaran gue yang sedikit membengkak kayak emak-emak yang masih hamil muda. Iya, cuma sedikit kok. Pengeluaran itu buat jalan bareng sama dia. Sebenarnya nggak ada kesepakatan tentang siapa yang nraktir siapa pas jalan bareng. Tapi gue tahu diri aja, dia belum kerja sedangkan gue udah. Jadi biar sama-sama enak dibuat gantian aja ngebayarinnya.

Semua mekanisme berjalan sesuai prosedur. Ibarat film sudah lulus sensor dan seharusnya nggak ada protes lagi pas ditayangin di bioskop. (kok gue jadi ngomongin film sih?) Maksud gue, prosedur yang dari awal sudah bener belum tentu menjamin suatu hubungan akan berjalan dengan baik pula. Seperti film bioskop yang sudah layak sensor, tapi di kemudian hari ada aja yang dikritik.

Dari pihak gue sebenernya nggak ada masalah. Tapi nggak tahu kenapa dia doyan banget ngeributin hal-hal kecil yang menurut gue nggak penting. Pada suatu malam kami sedang menyusuri jalanan Bandung dengan mengendarai motor gedenya. Dia ngajak makan tapi gue nggak mau dengan alasan sudah malam. Ternyata pas sampai di tengah jalan hujan deres. Kalau sudah begitu dia pasti menghembuskan nafas panjang yang lebih terdengar tarikan nafas kesel di telinga gue, dan sepanjang perjalanan dia cuma diem. Lidahnya lagi dicolong tikus kali. Serasa main pantomim deh gue.

Gue heran, dia sering banget ngambek. Apa yang gue lakuin nggak pernah cukup buat dia. Itulah salah satu resiko punya cowok yang pinter dan visioner, seperti kriteria gue. Tapi di sisi lain, dia bisa berubah layaknya Simon Cowell yang lagi ngejuriin American Idol. Detail, pedes, nusuk!

Hari demi hari dia makin cerewet dan sensitif. Malah kata temen gue sebaiknya kami tuker badan. Gue yang jadi cowok, dia jadi cewek. Hffhh.. Makin ke sini dia makin berani protes sama kerjaan gue. Katanya kerjaan gue sangat beresiko. Dia takut gue digodain kalau gue lagi siaran. Dia juga kurang suka sama temen-temen radio gue.

Satu hal yang bikin gue tetap bertahan sama dia selain karena wajah Tom Cruise-nya yang bikin gue selalu meleleh saat melihat matanya, somehow sikapnya juga sangat manis. Dia adalah pacar paling romantis di sepanjang sejarah daftar pacar-pacar gue yang jumlahnya ada satu, dua, tiga, empat, lima, enam! Cuma dia yang suka bilang I love you setiap hari.  And it always makes me blush! Tapi kalau inget muka keselnya pas ngeliat gue, manisnya langsung menguap kayak balon tanpa udara di dalamnya.

Selain jadi penyiar, gue ada sambilan nge-MC event-event tertentu yang diadain restoran punya kenalan gue. Kerjaan-kerjaan gue itu dinilai terlalu ngartis-lah, terlalu bebas-lah, intinya dia nggak suka sama pekerjaan gue. Maklum, beberapa bulan belakangan gue lagi banyak job. Mungkin dia ngerasa kurang gue perhatiin. Akhirnya gue berusaha mengubah kebiasaan gue. Dari yang sebelumnya gue jarang bilang gue lagi dimana, sekarang gue rajin update kabar kemanapun gue lagi kerja.

Gue pikir dengan cara itu dia bisa lebih ngehargain gue dan kerjaan gue. Tapi kenyataannya dia justru makin cerewet. Dia makin complain macem-macem kalau tempat gue ngeMC nggak baik menurutnya. Katanya dia takut kalau hati gue tertambat ke orang lain. Emangnya gue jemuran baju apa, yang kalau kena angin bakal nemplok ke tiang jemuran lain. Gini-gini gue cewek setia. Gue akan tetap tergantung di jemurannya, asalkan dia tetap kokoh. Tapi saat itu gue ngerasa dia udah nggak mau gue menggantung di tiangnya. Dan saat itu gue memutuskan untuk menyerah dan pergi. Kalau kata Raditya Dika cinta gue udah masuk masa kadaluwarsa.

#####


Aku paham betul, jika menyuruhmu berhenti siaran sama halnya menyuruh ayam berhenti berkokok. Roro Jonggrang bisa menumbuk beras yang membuat ayam bangun kemudian berkokok sebelum waktunya. Sekali ayam berkokok, pagi seolah langsung datang mengintip tanpa peduli matahari sudah terbit. Sekali ayam berkokok, suasana pagi tak bisa ditarik kembali menjadi malam. Sekali kamu siaran, tak ada yang bisa menghentikanmu.

Sejak SMA kau sudah tahu apa yang kamu inginkan. Di saat anak-anak lain hanya fokus belajar, mengikuti bimbingan belajar tambahan, organisasi dan ekstrakulikuler sekolah, atau berjam-jam menghadap komputer untuk bermain game, kamu sudah memilih untuk bekerja. Berawal dari sebuah radio komunitas lokal, kau memulai segalanya. Merintis benih yang nantinya akan menjadi buah segar.

Profesi sebagai penyiar radio selalu terdengar seksi di telingamu. Tak ada yang menyuruhmu melakoni profesi itu, tidak juga orang tuamu. Semuanya murni panggilan hati yang sangat menggebu.

Sejak pertama kali kau bercerita ingin menjadi penyiar, saat itu juga aku tahu gairahmu di situ. Sebagai seorang penyiar radio, kau bisa menyalurkan bakat cerewetmu yang memang menjadi kualifikasi utama dalam profesi itu. Sebagai seorang penyiar radio, kau bisa menambah pengetahuan musikmu. Sebagai seorang penyiar radio, kau bisa menambah koneksi dengan banyak orang yang sehobi denganmu.

Selepas kau tanggalkan seragam putih abu-abu, kau sempat berbelok mengikuti jalan yang lebih jauh namun aman, daripada berjalan lurus namun menanjak curam. Untung saja di tengah jalan kau tersadar dan segera menciptakan jalur alternatifmu sendiri. Mudah saja menetapkan tujuan, yang susah adalah membangun jalan setapak menuju tujuan itu.

Dan sekarang? Saat kau berhasil membangun jalur alternatifmu sendiri dengan susah payah, seseorang yang belum genap enam bulan kau kenal dengan mudahnya mengajakmu berbelok kembali. Jangan sahabatku. Jangan sampai kau turuti keinginan kekasihmu itu. Cukuplah kau punya aku, sahabatmu yang selama ini tak pernah meninggalkanmu sejak enam tahun lalu. Sahabatmu yang tak lelah mendengar keluh kesahmu.

Cukuplah aku yang selalu berlindung kepadamu, menggantung bebas di lehermu. Saat kau pergi berjalan-jalan, aku selalu ikut bergerak seiring langkah kakimu. Bukankah kamu sendiri yang bilang, saat aku bergerak-gerak berarti aku sedang menangkap segala kebaikan untuk menjadi bagian dari jaringan kehidupanmu. Dan membuat segala keburukan enyah tak kembali.

Cukuplah aku yang juga menjadi pelindung dalam tidurmu. Seperti yang kau lakukan selama ini, menanggalkanku dari lehermu lalu menggantungkanku di pinggir jendela, membiarkanku bergoyang santai tertiup angin.

Cukuplah aku yang menjadi sahabatmu tanpa syarat. Seperti yang kau katakan saat meminangku menjadi sahabatmu. Pada sebuah toko kalung antik di Jogja, kau terpesona akan wujudku. Diantara banyak kalung yang berjejer, bukan suatu kebetulan saat kau memilihku. Sejak saat itu, kau tak pernah absen untuk berkata-kata kepadaku. Menceritakan segala keluh kesah yang menggelayuti pikiranmu. Saat kesepian meringkus tubuhmu, dam duka memberangus batinmu.

Cukuplah aku yang selalu ikut kemanapun kau pergi, yang selalu kau anggap bisa bicara dan mendengarkan. Meskipun sebenarnya aku tak punya kemampuan itu, tapi kau selalu berpura-pura menganggapku bicara, bertanya kepadamu meskipun jarang. Lalu kau menjawabnya dan kita bertukar cerita.

Sahabatku, akulah penangkap mimpimu. Cukuplah aku yang mencintaimu, menjanjikan banyak harapan bagimu meskipun bukan tahun baru.


*****
Bogor, 31 Desember 2013
22:48 pm




Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Sebagai anonymous,,,

    1. Ada pergeseran tokoh 'aku' yaa disini,? sebenernya twistnya di part terakhir bagus, tapi karena tokoh aku ini tiba-tiba ganti, jadi seolah-olah jadinya nggak konsisten. Terus kelanjutan si 'aku' yang bercerita dari awal gimana? Padahal pembangunan karakter 'aku' udah smooth, terus tiba-tiba dia hilang. ;(

    2. Pergantian/permainan plotnya bagus. Tapi saya nggak dapet klimaks. Jadi, sebenernya inti persoalanya ada di 'gue dan pacarnya' atau 'aku yang bercerita tentang gue' ?

    3. Dari sudut pandang ide cerita bisa dibilang biasa. Tapi sebagai penulis kamu seharusnya bisa membuatnya jadi emmm... anomali, aneh, tapi dalem, nge-Jleb. kamu lak penggemer Peluk-Rectoverso kan? Cerita orang putus lak biasa aja, tapi apa yang bikin cerita itu nggak biasa? karena Dewi melihat konflik 'putus' dari sudut pandang yang lain. Yang biasa luput dari penglihatan dan pengamatan mayoritas orang. Jadinya cerita itu 'dalem' dan 'nusuk' dan WOW.
    Kalaupun ini ttg persahabatan si 'aku' dan 'gue', eksekusi ending atau jalan ceritanya harusnya lebih twist lagi. Bikin kebanyakan orang dengan konflik persahabatan yang sama jadi hmm terperangah atau apalah semacamnya.
    So, karena ini true story ya kan? (soalnya aku kebayang langsung kamu dan dia) heheheee, risetmu pada ekpektasimu ke sahabatmu itu seharusnya bisa dikupas lagi.
    Oke, segitu aja sebagai anonymous yang berlagak kritis... pis, lof, and gahoL!!

    BalasHapus
  3. 1. Memang ada pergeseran karakter di akhir. Sejak awal tokoh aku minim informasi tentang indentitas dirinya. Sehingga menjelang akhir cerita yang merupakan klimaks, yakni saat cerita sahabatnya sampai pada kata perpisahan dengan kekasihnya, dia mencoba keluar sebentar untuk memperkenalkan siapa dirinya sebenarnya. Kelanjutan? Tentu dia akan tetap menjadi aku seperti awal cerita, dia tidak akan pensiun menjadi sahabat serba tahu dan tempat berbagi cerita apapun.
    2. Pembaca akan punya makna bermacam-macam mengenai hal itu. Namun pada saat menulis ini, penulis sebenarnya berusaha untuk menceritakan kisah cinta sahabatnya.
    3. Penulis masih harus banyak belajar agar bisa menulis dengan twist yang lebih nendang. Ini merupakan salah satu usaha penulis untuk memberikan sentuhan twist di akhir cerita. Jika pada penerapannya belum efektif, penulis akan terus mencari varian twist agar bisa mengagetkan pembaca pada tulisan selanjutnya. Karena sebenarnya waktu mulai menulis ini, penulis belum memikirkan mengenai twist, baru menjelang akhir ide itu muncul. Dalam waktu berfikir dan proses penulisan yang hanya satu hari, mungkin penulis juga terlalu terburu-buru sehingga pergeseran karakter kurang smooth.
    Terimakasih untuk komentarnya. Berbagai bentuk masukan (kritik) akan sangat membangun bagi karya selanjutnya :)

    BalasHapus
  4. Ceritanya menarik, kayak di film-film. Ketemu cowok di jalan, ketemu lagi, dan ternyata dia sering dengerin kamu siaran. Wow, aku belum pernah tahu ada kejadian kayak gitu di dunia nyata.

    Bahasa yang kamu pake juga asyik, nggak muluk-muluk, bikin betah. Good job, Ula!

    BalasHapus

Posting Komentar