Apa yang
diharapkan dari sebuah pertemuan pertama dalam suatu proses seleksi.
Puluhan tekad dan harapan akan berpadu seperti uang receh yang
dikumpulkan pengamen dalam bus pada penutup kepalanya. Uang kertas
akan dihadiahi senyum lebar. Uang logam hanya pantas mendapati bibir
yang naik sebelah. Karena hal itu uang kertas dan uang logam tak
pernah berteman. Mereka berlomba mencari perhatian untuk lebih dulu
digunakan. Karena yang tersisa adalah yang paling tidak diinginkan.
Sering
sekali aku bertemu dasi-dasi yang sudah terpasang rapi namun
berkali-kali dibenarkan seolah dengan kedipan mata saja dasi itu akan
bergeser. Tak sedikit pula sepasang stiletto
yang sedang tak bersuara gaduh
hanya menghadap lurus ke depan.
Sekali saja aku pernah
merasakan pengecualian. Saat dasi tak lagi berkali-kali dibenarkan
dan stiletto tak
hanya menghadap lurus ke depan.
Sekali
dalam seharian aku bertemu mereka, wajah-wajah baru yang baru sekali
bertemu. Namun predikat pertama bertemu tak lantas membuat interaksi
turut kaku. Aku dan mereka tak segan membaur. Membicarakan ini itu
dari hilir hingga ke hulu.
Pertama
kali aku melihat dasi-dasi tak lagi digunakan lambang kejantanan,
yang setiap saat dibenarkan letaknya oleh sang pemilik. Dasi itu
diganti wibawa yang terlungkup dari sepotong kemeja rapi dan celana
kain. Pertama kali aku melihat bukan stiletto
yang digunakan untuk menarik
perhatian. Melainkan balon kata-kata yang terlalu cepat ditusuki
dengan jarum sehingga membuat kata-kata bertalian. Satu hal yang
membuat mereka lebih indah dari dasi mewah dan stiletto
limabelas senti yang sering
kutemui, senyum seratus watt yang tak pelit mereka bagi kepada
siapapun meski baru bertemu pertama kali.
Beruntung
sekali takdir menggiringku untuk bertemu mereka. Dua puluh satu orang
yang karena kesamaan tekad dan resolusi berkumpul menjadi satu untuk
mengikuti proses seleksi. Anehnya bukan persaingan yang kurasakan,
lebih dari itu aku menemukan banyak kerendahan hati. Putra-putri
bangsa dari barat hingga timur Indonesia sedang berlomba menunjukkan
bakti untuk negeri. Kami dituntut mempertanggungjawabkan segelintir
essay yang
kami tulis dan telah memikat hati panitia untuk memilih kami. Kami
membuktikan kesiapan untuk dikirim ke pelosok negeri sebagai agen
penggerak dan perintis. Untuk mengajar adalah tujuan utama kami.
Pengajar muda, adalah sebutan yang ingin kami dapati.
Dalam
seharian kami bertemu, berkenalan, lalu berbincang. Kami dibagi
menjadi tiga kelompok kecil beranggotakan tujuh orang yang akan
mengikuti tes secara paralel. Tes pertama adalah presentasi diri.
Tujuh menit kami diberi waktu untuk mengupasi diri kepada teman
sekelompok disertai tanya jawab. Presentasi diri membuat kami lebih
mengenal satu sama lain. Detik itu juga aku tersadar, teman-teman
baruku ini bukan orang sembarangan. Mereka adalah muda-mudi terbaik
negeri ini. Mendadak rasa minder datang menyapa diri.
Setelah
tahap pertama selesai kami tak lantas berdiam diri. Seakan waktu
tujuh menit dikalikan tujuh yang diberikan panitia kepada kami untuk
saling mengenal belum cukup. Perbincangan mengenai latar belakang
masing-masing masih berlanjut hingga jeda istirahat menuju tes kedua.
Kami membahas pertanyaan yang belum tuntas dijawab dalam sesi
diskusi. Beberapa diantara mereka bertanya mengenai pengalamanku
seakan aku adalah sang ahli. Padahal dari merekalah diam-diam aku
menyerap nilai positif.
Tes
berikutnya adalah Focus Group
Discussion (FGD). Dalam tahap
ini masing-masing dari kami diberikan satu bendel permasalahan yang
mungkin kami temui nanti. Kami disuruh memilih tiga dari enam
penyelesaian yang mungkin diambil dengan memperhitungkan berbagai
macam hambatan yang mengikuti. Sebelumnya kami diberi waktu
pribadi untuk memikirkan solusi terbaik yang akan dibawa ke meja
diskusi.
Dalam
tahap FGD ini kami belajar untuk mendengar dan menghargai pendapat
teman lain. Tak ada ketua diskusi, masing-masing mempunyai kesempatan
yang sama untuk berpendapat, menyetujui, maupun menyanggah pendapat
lain. Tak ada pula voting
untuk menentukan solusi
terbaik. Yang kami cari hanyalah kata mufakat.
Proses
berikutnya yang kelompok kami lalui adalah interview.
Dalam proses itu kami ditanyai
ini itu secara mendetail. Pertanyaan yang dilontarkan tak jauh-jauh
dari pengalaman berharga yang pernah kami alami dan bagaimana kami
bisa belajar dari pengalaman itu. Dari proses ini aku belajar kembali
memaknai hidup yang telah kujalani. Seberapa banyakkah inovasi yang
sudah kulakukan selama ini? Seberapa besarkah peran yang kulakukan
sehingga tercipta suatu kelancaran? Seberapa pentingkah suaraku untuk
kemajuan di sekitarku? Sekecewa apakah aku dengan masa lalu?
pertanyaan-pertanyaan itu mengerucut pada satu pertanyaan besar,
seberapa pantaskah aku untuk mereka (panitia) pilih sebagai pengajar
muda?
Setelah
wawancara selama hampir satu jam, kelompok kami mengikuti psikotes.
Terdapat empat tahap pada psikotes yang kami ikuti. Pertama, kami
disuruh memilih satu diantara dua perilaku yang paling mendekati
sifat kami. Terdapat sembilan puluh pertanyaan yang akan menjabarkan
kepribadian kami. Kemudian kami disuruh menggambar sebuah pohon
dengan pengecualian tidak boleh menggambar pohon jenis tertentu. Saat
itu aku memilih untuk menggambar pohon rambutan.
Selanjutnya
kami harus menggambar orang lengkap dengan keterangan siapa orang
itu, apa pekerjaannya, dan berapa umurnya. Karena menggemari film,
aku menggambar seorang sutradara perempuan berkerudung yang sedang
membawa sebuah clapper dengan
keterangan bahwa sedang dilakukan syuting film berjudul Indonesia
Mengajar lengkap dengan detail tanggal, director, dan lain-lain.
Sebuah kursi sutradara, roll film, dan kamera tak lupa kububuhkan di
sekitar sang sutradara.
Terakhir,
kami disuruh menggambar rumah, pohon, dan orang. Disitu aku
menggambar sebuah rumah dengan dua pilar disamping kanan-kiri rumah
dan pintu di tengah. Kemudian sebuah keluarga sedang menggelar tikar
di halaman rumah yang penuh taman. Dua buah pohon besar kugambarkan
bak penjaga rumah di samping kiri-kanan pagar, serta pohon-pohin
kecul mengelilingi rumah. Entah apa artinya, aku hanya berusaha
menggambarkan yang terlintas di kepalaku saja.
Tes
kelima sekaligus yang terakhir adalah simulasi mengajar. Sebelumnya
kami telah diberitahu materi ajar yang akan kami bawakan. Aku
mendapatkan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang membahas Sumpah
Pemuda. Saat simulasi, satu orang bertugas mengajar di depan kelas
dan anggota kelompok lain ditambah beberapa panitia yang kebanyakan
sanguin bertindak sebagai murid yang ramai. Selalu ada skenario yang
berganti setiap satu orang bertindak sebagai guru di depan kelas.
Akibatnya, bahan ajar yang sudah kupersiapkan dengan matang tidak
terpakai maksimal. Sebab kami terlalu sibuk meladeni berbagai macam
kelakuan murid sesuai skenario panitia.
Banyak
tawa, gurau, dan canda dalam proses simulasi mengajar. Menjadi sangat
menyenangkan saat kami harus berpura-pura menjadi anak kecil dengan
berbagai macam kebutuhannya. Dan menjadi kebanggan saat kami bisa
meladeni polah tingkah anak kecil gadungan tersebut. Rentetan tepuk
tangan menjadi penutup bahwa simulasi mengajar telah usai.
Lima
proses seleksi sudah kami lalui seharian. Tiba saatnya penutupan,
kami diperbolehkan mengungkapkan pesan kesan selama mengikuti proses
seleksi. Dan sebuah prosesi terakhir yang tak boleh ketinggalan
adalah mengabadikan momen hari itu. Kami berfoto bersama, membingkai
kenangan, membungkus keceriaan untuk kami simpan. Foto itu menjadi
monumen bagi kami, yang kelak akan kami kenang dengan beragam makna
dan esensi. Entah apapun hasil tes hari itu, bertemu mereka
teman-teman baruku adalah bagian terindah melebihi yang kubayangkan
mengenai pertemuan pada proses seleksi.
Sebab,
setiap pertemuan pada proses seleksi selalu terasa seperti arena
pacuan kuda. Setiap kuda seakan telah dipersiapkan untuk menjadi yang
paling kuat. Bahkan ruang pandangnya dibatasi dengan pemakaian
kacamata kuda. Sang kuda pacu tak pernah tahu keadaan kawan di
sampingnya. Fokusnya hanya lurus ke depan. Namun pertemuan hari itu
terasa berbeda.
Karena
kami bukan kuda pacu. Kami tak pernah bersaing untuk saling
menjatuhkan agar menjadi yang terdepan. Kami adalah kawanan kuda yang
selalu berkelompok untuk merumput dan beristirahat bersama. Bersedia
menaruh perhatian dengan teman sekelompok tetapi tetap tak acuh
terhadap anggota kelompok lain. Kawanan kuda yang dengan senang hati
memberikan gigitan kecil terhadap sahabat yang kelak akan lama
berpisah, sebagai tanda pertemuan.
Tulungagung,
28 Januari 2014
pukul
12:37
Dipersembahkan
untuk teman-teman baruku,
peserta
seleksi tahap II (Direct Assessment)
Indonesia
Mengajar Angkatan VIII
Kelompok
1 wilayah Surabaya
(Repost setelah sebelumnya terhapus)
Komentar
Posting Komentar