Telah Lahir Kembali


“Motif paling dihafal dan disenanginya ialah rupanya sendiri yang
menurutnya mirip Sukrasana, jelek!” ucapku kepada teman sebelah yang
juga sedang menunggu giliran.

        Kebiasaannya mampu kuhafal di luar kepala. Pada suatu pagi yang masih
terlalu pagi. Sebuah cerutu telah terapit manis di tangan kanannya.
Bergantian dengan kuas aneka ukuran yang menunggu dijamahnya. Sepagut
tawa terpancar dari bibir yang sudah berulang kali melakukannya. Sang
maestro siap berkutat dengan dunia antah berantah yang membebaskannya.

        “Hari ini giliranku tiba!” aku bersorak. Siap ditelanjangi dengan
emosinya yang selalu meluap. Diletakkannya bakal diriku di samping
cermin besar tempat berbagai ide berkeliaran. Cermin yang malang. Ia
mencari rangsangan darinya, namun hanya padaku gairahnya diluapkan.

        Sentuhan lembutnya tak pernah berhenti sejak pertama kali
merasakanku. Mendapati perhatiannya tercurah penuh adalah hal terindah
bagiku. Kami selalu berharap mendapat jatah pengabadian potret dirinya
saat giliran itu tiba. Beruntung sekali kali ini aku mempunyai
kesempatan itu. Ia bergumam “Pahit dan manis, selalu membisikkan
pilihan yang menggiurkan.”

        Kemudian ia membubuhkan sosok lain mengelilingi potret dirinya yang
terlihat paling gagah dan memiliki kuasa. Kembali ia bergumam,
“Kesempurnaan manusia bisa terwujud karena adanya kelemahan terbesar
yang dimilikinya.” Senyum puas tersungging di bibirnya, menyambut
wujud reinkarnasiku. “Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan (1961)”.
Seperti itulah Affandi menamaiku.

Gunung Putri, 16 November 2013
Alhamdulillah telah memenangkan lomba Cerpen Mini mingguan oleh Bentang Pustaka.

Komentar