Tentang beberapa hal yang belum tersampaikan


Ada ketidaknyamanan yang akhir-akhir ini merengek ingin diperhatikan. Hal itu membuatku merenung berhari-hari mencari jawaban atas pertanyaan yang bahkan belum sempat terlontar. Pertanyaan yang kira-kira jika diucapkan akan berbunyi seperti  “Sudahkah aku bermanfaat untuk kalian?”

Sebab. Itulah alasan mengapa manusia diciptakan. Ada sebab yang bertalian dengan akibat mengenai eksistensi manusia. Ada hal-hal yang perlu membuat kita paham mengapa kita ada di dunia ini. Selain hubungan vertikal sebagai perbekalan kematian, sudahkah keberadaan kita memberi manfaat untuk orang lain? Adakah sesuatu yang bisa dikenang saat kita sudah tiada?

Pada suatu ketika dalam rute hidupku, aku telah sampai pada gerbang kemandirian yang mengharuskanku pisah ranjang dengan berbagai macam bentuk ketergantungan. Ya, dunia kerja yang sering kusebut sebagai awal dari dunia yang sesungguhnya. Dari berbagai usaha yang telah kulakukan, Tuhan masih mempercayakan profesi yang sama untukku, jurnalis, wartawan, kuli tinta, atau apalah kau menyebutnya.

Dari berbagai macam kemungkinan yang terjadi di dunia ini, suatu peluang membawaku bertemu kalian. Dua puluh tiga orang yang mempunyai kesempatan yang sama denganku untuk berkarir di salah satu stasiun televisi swasta atau aku lebih senang menyebutnya raksasa media negeri ini. Kau nilai sendiri saja apa maknanya.

Broadcast Development Program (BDP), itulah nama jalur yang kita ikuti di sana. Kita berkumpul dari berbagai disiplin ilmu perguruan tinggi dikumpulkan menjadi satu. Dengan memulai dari garis start yang sama kita dianggap sama rata. Kita terbagi menjadi tiga divisi, yaitu news, produksi, dan programming. Selama dua minggu awal kita mengikuti On Class Training. Layaknya anak kuliah kita  hanya duduk diam di bangku mendengarkan pemateri berbicara, lalu bertanya jika ada yang ingin ditanyakan.
Beruntung jika pemateri menyadari kebosanan kita lalu memberi selipan permainan yang lumayan untuk mengganjal mata. Setidaknya tak hanya pada slide bertuliskan Terima kasih saja kita para peserta melongok membuka mata.

Hal utama dalam pelatihan tersebut adalah bagaimana kita harus paham tentang perusahaan. Tak peduli dari divisi mana kita akan ditempatkan, kita harus mengetahui keseluruhan struktur. Bisa dibilang kita berusaha mengenal lebih jauh, berusaha menumbuhkan rasa cinta terhadap perusahaan. Lepas dari tujuan utama program tersebut, ada satu tujuan lain yang tak boleh alpa. Tentang kerja sama tim. Untuk mewujudkan itu maka kita harus mengenal satu sama lain. Dari sinilah interaksi dimulai. Interaksi yang diawali dari sebuah kesan pertama.

Setujukah jika kesan pertama seringkali berlawanan dengan pribadi seseorang yang sesungguhnya? Tak heran muncul perumpamaan don’t judge the book by its cover. Aku termasuk orang yang kurang setuju dengan istilah itu. Kesan pertama itu seperti saat kita berniat makan siang di kantin tempat kerja baru. Tentu akan timbul keinginan untuk mencari kantin yang menyajikan makanan lezat sekaligus terjangkau. Namun kita belum tahu kantin mana yang bisa memenuhi keinginan itu. Maka yang kita lakukan adalah mengamati kantin yang ada hingga menemukan satu yang menarik hati dan kita memutuskan untuk membeli makanan di kantin itu.

Rantai kesan pertama belum berhenti saat kita sudah membuat pilihan. Sebab belum tentu makanan yang sudah kita pilih dari sebuah kantin yang menarik hati tadi sesuai dengan keinginan kita. Bisa saja rasa masakan kurang berhasil diterjemahkan sel reseptor lidah, atau harga yang membuat dompet jengah. Kita harus merasakan agar kita mampu membubuhkan nilai. Seperti itulah kesan pertama. Penting tapi tidak mutlak. Butuh interaksi untuk memberi label garansi.

Ada banyak kesan yang terserak di benak saat pertama kali bertemu dengan mereka, rekan kerja baruku. Berbagai macam orang baru yang harus kukenali satu per satu. Jujur aku bukan orang yang banyak bicara saat pertama kali bertemu dengan orang baru. Dan tentang kesan pertama? banyak yang meleset. Ada yang kukira cuek dan sombong ternyata baik bak malaikat. Ada yang awalnya terlihat cool ternyata rame orangnya, dan banyak lagi.

Kebanyakan dari kalian teman-teman baruku adalah orang sanguin. Kalian adalah pemecah suasana yang sangat atraktif dan enerjik. Suasana kelas tak pernah sepi karena kalian. Santai, easy going, ceria, dan ramah, ciri khas orang sanguin dimiliki sebagian besar dari kalian. Kalau ada satu kata untuk melukiskan kalian adalah GOKIL!

Banyak kegiatan seru selama pelatihan dua minggu. Selain mendengarkan materi, kita juga banyak melakukan permainan mulai bisik kata hingga tiru gaya. Masih ingatkah tentang momen berebut jus? Atau saat memperebutkan risol? Atau saat para perempuan sedang memperebutkan pembicara kece? #uhuk bang news, #uhuk bang promo.

 Salah satu bagian paling seru ketika ada yang telat dan dijatuhi hukuman. Tentu hukuman yang dipilih sangat antimainstream. Atau saat senam pagi bersama-sama. Ingatkah saat diinstruksikan membuat yel-yel tim produksi paling bersemangat menyiapkan segalanya hingga latihan sampai malam? Sedangkan tim programming, meskipun awalnya kurang kompak tapi yel kalian adalah yel sejuta umat karena mampu mendarah daging di pikiran kita.

Ah, tak ada habisnya jika semua kuceritakan. Namun yang jelas, setelah dua minggu kita bersama kuakui hanya sekelumit kecil dari diriku yang sudah kubagi bersama kalian. Jika masih ada jarak yang seolah kubentangkan lebar-lebar, percayalah bukan maksudku untuk itu. Kadang aku hanya tak tahu bagaimana cara membaur.

Untuk kalian teman sekaligus rekan kerja baruku, mungkin aku belum memberi manfaat untuk kalian, aku juga tak sempat memberi apa-apa untuk kelak dikenang. Hanya tulisan ini, semoga menjadi prasasti yang cukup mendokumentasikan perjumpaan kita. Prasasti yang mencetak sebuah monokrom untuk masa depan. Prasasti yang memberi petunjuk jalan bernama masa lalu saat kalian semua sudah jadi orang. Keinginanku ini tidak muluk-muluk, kan?

Terakhir aku ingin sedikit berbagi mengenai salah satu babak menginspirasi di hidupku. Seseorang bernama Windy Ariestanty pernah menyampaikan pandangannya tentang hidup, menjawab pertanyaanku tentang konflik unik yang ia hadirkan pada salah satu bukunya yang menjadi favoritku. Menurutnya hidup berjalan tanpa drama, manusianya saja yang sebenarnya mendramatisasi peristiwa. Sebab, manusia adalah penipu ulung untuk diri sendiri. Untuk jujur dengan diri sendiri saja, kita kerap takut bukan?

Ya, aku memilih setuju untuk itu. Kalau boleh aku tambahi, jadilah seperti film dokumenter, yang menunjukkan sesuatu apa adanya. Membuat film dokumenter membutuhkan waktu yang lebih lama untuk melakukan riset. Berbeda dengan film feature, tak ada sutradara yang berteriak Cut jika ada adegan yang salah. Tak ada dramatisasi, semua murni dokumentasi sehari-hari. Sepertihalnya hidup yang layak diperlakukan apa adanya. Karena hidup bukan FTV yang bisa diatur dan dibumbui sesuka hati.

PS. Gue belum nemu seorang moviefreak sejati yang punya koleksi film jadul, yang siap gue ajak barteran film. Ada yang ngerasa? (tidak termasuk film superhero) :p



Repost setelah sebelumnya terhapus

Komentar